Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan
data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic
mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode
Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media
elektronik lainnya.
Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku
untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di
luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UUITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu :
·
pengaturan
mengenai informasi dan transaksi elektronik
Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada
beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce dan
UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir
kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna
mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa
materi yang diatur, antara lain:
1. pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang
sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE);
2. tanda tangan elektronik (Pasal
11 & Pasal 12 UU ITE);
3. penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority,
Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE);
4. penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE);
·
pengaturan
mengenai perbuatan yang dilarang.
Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam
UU ITE, antara lain: 1. konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain:
kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan
pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);
2. akses ilegal (Pasal 30);
3. intersepsi ilegal (Pasal 31);
4. gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
5. gangguan terhadap sistem
(system interference, Pasal 33 UU ITE);
6. penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU
ITE);
Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal sebagai berikut :
·
Tanda tangan
elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional
(tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines
(pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
·
Alat bukti elektronik diakui seperti alat
bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
·
UU ITE berlaku untuk
setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah
Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
·
Pengaturan Nama
domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
·
Perbuatan yang
dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
o Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
o Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
o Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
o Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
o Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
o Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
o Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
o Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?))
o Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
o Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
o Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
o Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
o Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
o Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
o Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
o Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?))
1. UU
ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat
dan bisa menghambar kreativitas dalam ber-internet, terutama pada pasal 27 ayat
(1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3). Pasal-pasal
tersebut pada dianggap umumnya memuat aturan-aturan warisan pasal karet
(haatzai artikelen), karena bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung
interpretasi pengguna UU ITE ini. Ancaman pidana untuk ketiganya pun tak
main-main yaitu penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar
rupiah
Tambahan lagi, dalam konteks pidana, ketiga delik ini berkategori delik formil, jadi tidak perlu dibuktikan akan adanya akibat dianggap sudah sempurna perbuatan pidananya. Ketentuan delik formil ini, di masa lalu sering digunakan untuk menjerat pernyataan-pernyataan yang bersifat kritik. Pasal-pasal masih dipermasalahkan oleh sebagian bloger Indonesia.
2. Belum ada pembahasan detail tentang spamming. Dalam pasal 16 UU ITE mensyaratkan penggunaan ’sistem elektronik’ yang aman dengan sempurna, namun standar spesifikasi yang bagaimana yang digunakan ? Apakah mengoperasikan web server yang memiliki celah keamanan nantinya akan melanggar undang-undang?
3. Masih terbuka munculnya moral hazard memanfaatkan kelemahan pengawasan akibat euforia demokrasi dan otonomi daerah, seperti yang kadang terjadi pada pelaksanaan K3 dan AMDAL.
4. Masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, misalnya standar kesusilaan, definisi perjudian, interpretasi suatu penghinaan. Siapa yang berhak menilai standarnya ? Ini sejalan dengan kontroversi besar pada pembahasan undang-undang anti pornografi.
5. Ada masalah yurisdiksi hukum yang belum sempurna. Ada suatu pengaandaian dimana seorang WNI membuat suatu software kusus pornografi di luar negeri akan dapat bebas dari tuntutan hukum.
Tambahan lagi, dalam konteks pidana, ketiga delik ini berkategori delik formil, jadi tidak perlu dibuktikan akan adanya akibat dianggap sudah sempurna perbuatan pidananya. Ketentuan delik formil ini, di masa lalu sering digunakan untuk menjerat pernyataan-pernyataan yang bersifat kritik. Pasal-pasal masih dipermasalahkan oleh sebagian bloger Indonesia.
2. Belum ada pembahasan detail tentang spamming. Dalam pasal 16 UU ITE mensyaratkan penggunaan ’sistem elektronik’ yang aman dengan sempurna, namun standar spesifikasi yang bagaimana yang digunakan ? Apakah mengoperasikan web server yang memiliki celah keamanan nantinya akan melanggar undang-undang?
3. Masih terbuka munculnya moral hazard memanfaatkan kelemahan pengawasan akibat euforia demokrasi dan otonomi daerah, seperti yang kadang terjadi pada pelaksanaan K3 dan AMDAL.
4. Masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, misalnya standar kesusilaan, definisi perjudian, interpretasi suatu penghinaan. Siapa yang berhak menilai standarnya ? Ini sejalan dengan kontroversi besar pada pembahasan undang-undang anti pornografi.
5. Ada masalah yurisdiksi hukum yang belum sempurna. Ada suatu pengaandaian dimana seorang WNI membuat suatu software kusus pornografi di luar negeri akan dapat bebas dari tuntutan hukum.
Berikut 3 contoh kasus pelanggaran UU No.11 Tahun 2008 :
Kasus Luna Maya dan Ariel
Setelah
sekitar satu tahunan undang-undang ini dibuat, telah terjadi pelanggaran
seperti kasus Luna Maya dan Ariel ini. Mereka membuat membuat video adegan
mesra dan telah tersebar di Internet yang dapat diakses oleh banyak orang.
Perbuatan mereka melanggar pasal 27 ayat (3) UU ITE No.11 Tahun 2008 yang
berbunyi”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentrasmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronikyang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik”.
Kasus Prita Mulyasari
Pada
tahun yang sama seorrang ibu yang bernama Prita Mulyasari terjerat pasal UU ITE
karena Prita Mulyasari mengeluhkan atau mengkritik pelayanan RS.OMNI
INTERNATIONAL melalui surat elektronik (e-mail) dan sebuah group diinternet,
setelah itu pihak rumah sakit tidak terima atas kritikan tersebut dan
melanjutkan ke jenjang hukum atas dasar melanggar undang-undang ITE No.11 Tahun
2008. Kasus Prita melanggar pasal 29 UU ITE No.11 Tahun 2008 yang berbunyi “setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang
ditujukan secara pribadi”
Kasus Agus Hamonangan
Agus
Hamonagan seorang moderator forum pembaca kompas diperiksa polisi karena
mencemarkan nama baik dan penistaan yang dilaporkan oleh seorang politikus
Partai Amanat Nasioanal yang bernama Alvin Lie .Hinaan Agus Hamonagan
kepada Alvin Lie diduga mengandung SARA yang melanggar pasal 27 ayat (3) “Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Sumber
:
0 komentar:
Posting Komentar